Home » , » APA YANG HARUS DILAKUKAN BILA MANDI RAMBUT RONTOK DAN MANDI ISTIHADAH

APA YANG HARUS DILAKUKAN BILA MANDI RAMBUT RONTOK DAN MANDI ISTIHADAH

Posted by Lentera Hati Manusia adalah Qolbu on Selasa, 28 Juni 2011

Fiqih Keseharian seri ke-36
Oleh KH. A. Mustofa Bisri
 
Tanya:
Kami pernah mendengar penjelasan bahwa orang yang sedang hadas besar harus hati-hati. Apabila rambut sampai rontok harus diambil dan dikumpulkan, kemudian jika nanti mandi besar atau bersuci, rambut-rambut itu harus ikut disucikan. Sebab kalau tidak disucikan, rambut-rambut yang rontok, juga kuku-kuku yang dipotong pada waktu hadas besar itu, besok di akhirat akan menyeret kita semua ke neraka.
 
Apakah benar demikian? Dan adakah hadis sahih yang menerangkan masalah itu? Terus terang saya sebagai wanita menjadi takut, karena waktu hadas besar bisa sangat panjang, terutama pada waktu nifas dan haid.
 
Atas penjelasan dan jawaban Pak Mus, saya ucapkan banyak terima kasih.
 
Bu In
Klaten
 
Jawab:
Agaknya pengertian seperti yang Bu In utarakan itu sudah menjadi semacam keyakinan di banyak wanita muslim kita. Saya tidak sekali ini saja ditanya demikian.
 
Boleh jadi hal itu bermula dari hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari Sayyidina Ali r.a. Hadis yang banyak ulama dijadikan dalil juga bagi wajibnya membasuh seluruh tubuh termasuk rambut pada wkatu mandi janabah itu berbunyi:
 
"Barangsiapa meninggalkan maudhi'a sya'ratin, tidak dikenai ari (atau tidak dicuci) dalam mandi janabah, maka Allah akan membuatnya begini begini dari api neraka"
 
Lafal maudhi'a sya'ratin sering diterjemahkan "sepotong rambut" atau "akar sehelai rambut".
 
Mungkin dari terjemahan inilah, berkembang pengertian, seperti yang dijelaskan kepada Bu In, orang yang junub harus hati-hati dengan rambutnya. Jangan sampai lepas sehingga pada waktu mandi nanti, tidak ada yang ketinggalan dibasuh.
 
Saya sendir cenderung mengartikan maudhi'a sya'ratin secara harfiyah: "tempat sehelai rambut".
 
Jadi pengertiannya: mandi janabah itu haru meratai seluruh rambut atau sekujur tubuh, meliputi permukaan kulit dan rambut. Jangan ada yang ketinggalan sedikitpun, se(tempat sehelai) rambut pun.
 
Memang di dalam melaksanakan agam, sikap berhati-hati, dalam pengertian ngepaskan dengan tuntunan dan ajaran seperti adanya, adalah sikap terpuji. Tapi tentu saja tidak harus --malah tidak baik-- kebangeten (keterlaluan). Sikap kebangeten atau keterlaluan dalam segala hal, termasuk ibadah, tidak dianjurkan dan bahkan dicela oleh agama kita sendiri.
 
Allah berfirman:
 
"Bertakwalah kepada Allah semampumu" (QS 64. At-Taghaabun: 16)
 
Dan Rasulullah Saw. bersabda:
 
"Apabila aku memerintahkan mengerjakan sesuatu, maka laksanakanlah itu semampumu" (HR Muttafaq alaih dari Abu Hurairah)
 
Dalam hadis Sayyidatina 'Aisyah:
 
"Biasanya Rasulullah apabila memerintahkan shahabatnya, diperintahkannya mereka mengerjakan amal-amal yang (kira-kira) mereka sanggup mengerjakannya" (HR Muslim dari 'Aisyah r.a.)
 
Dalam hadis sahih yang lain yang diriwayatkan al-Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda:
 
"Sesungguhnya agama itu mudah (tidak merupakan beban). Tak ada seorang pun yang memperberat agama kecuali pasti akan dikalahkannya. Maka berusahalah (semampumu) mengepaskannya! (Tidak mampu tepat, ya berusahalah) mendekatinya.
 
Bahkan Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a. Sabda Nabi Saw.:
 
"Rusaklah mereka yang suka kelewatan (keterlaluan) kebangetan, njerok-njerok-ake). Beliau mengulang-ulang ucapannya ini hingga tiga kali"
 
Saya ketentuan atau prinsip umum ini --melaksanakan semaksimal mungkin ajaran agama tanpa melebih-lebihkan-- bisa untuk pedoman dalam beragama.
 
Nah, sehubungan dengan pertanyaan Bu In, saya pikir cukuplah Bu In berusaha, apalabila mandi janabah, membasuh serata mungkin seluruh tubuh, termasuk rambut. Rambut yang brodol, lepas sendiri, pada saat hadas besar dan kita tidak tahu, masak ya kita harus mempertanggungjawabkannya, ini di luar kemampuan kita. Seperti tidak sekali saya ingatkan, Allah tidak membebani hamba-hamba-Nya dengan hal-hal yang di luar kemapuannya. Sebagaimana firman Allah:
 
"Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kemampuannya" (QS 2. Al-Baqarah: 233)
 
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" (QS 2. Al-Bawarah: 286)
 
"Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kesanggupannya" (QS 6. Al-An'am: 152)
 
"Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekadar kesangggupannya." (QS 7. Al-A'raf: 42)
 
"Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya" (QS 23. Al-Mukminun: 62)
 
Wallaahu A'lam bishshawaab.


0 comments:

Posting Komentar

.comment-content a {display: none;}