Home » » Bencana Alam, Antara yang ILMIAH dan MISTIK

Bencana Alam, Antara yang ILMIAH dan MISTIK

Posted by Lentera Hati Manusia adalah Qolbu on Rabu, 11 Mei 2011


Fiqih Keseharian seri ke-21
Oleh KH. A. Mustofa Bisri
 
Tanya:
Seringnya terjadi bencana alam akhir-akhir ini, termasuk banjir bandang dan tanah longsor yang melanda wilayah kita Jawa Tengah, mengundang komentar dan penafsiran yang bermacam-macam. Ada yang berbau ilmiah, ada pula yang berbau mistik, bagaimana menurut kacamata Pak Mus?
 
Rukmini
Ngaliyan
 
Jawab:
Wah, kacamata saya itu made in Pesantren, mbak Ruk. Saya melihat bencana-bencana alam yang umumnya di luar kemapuan manusia untuk mengelakkannya itu adakalanya merupakan peringatan atau cobaan dari Allah, adakalanya azab dari-Nya. Kalau itu merupakan peringatan dan cobaan, syukurlah kital berarti kita masih diperhatikan-Nya. Tinggal bagaimana kita mawas diri sebagai hamba-hamba-Nya. Apakah kita menyadari kesalahan-kesalahan yang karenanya kita diperingatkan, lalu kita segera memperbaikinya dan menerima penuh tawakal cobaannya itu, atau tidak? Sebab kalau kita dlurung, hanya terkesiap dan prihatin sebentar kemudian tetap terus dalam kesalahan-kesalahan kita, tidak mustahil yang datang berikutnya tak lagi peringatan, tapi azab. Na'uudzu billaah!
 
Dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi Saw. yang saya ketahui, bencana-bencana yang menimpa manusia itu memang "diciptakan" oleh manusia sendiri. Allah memberi nikmat kepada manusia dan manusialah yang mengubahnya menjadi malapetaka. Firman Allah Swr., antara lain:
 

"Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS 8. Al-Anfaal: 53)
 

"..Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa (nikmat) yang ada pada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri..." (QS 13. Ar-Ra'd: 11)
 
Ada dua sikap manusia yang mengundang siksa Tuhan turun. Pertama, tidak ada saling menegur. Tidak ada yang menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Tak ada yang menegur kemungkaran yang dilihatnya. Perzinahan, judi, penggelapan, kesewenang-wenangan, dan kemaksiatan-kemaksiatan lain didiamkan berlaku di depan mata. Dan memang sulit diharapkan adanya saling tegur, saling mengingatkan, saling ber-amar makruf nahi mungkar, dari kelompok manusia yang tidak saling berhubungan secara batini, tidak saling mengasihi, tidak saling ngeman.
 
Kedua, tidak merasa berdosa. Ketika Abu Jahal dengan congkak berkata: 'Ya Tuhan, jika apa yang diajarkan Muhammad ini benar, hujanilah kami bebatuan dari langir atau turunkan azab yang hebat kepada kami!' turunlah ayat 32-33 surah 8. Al-Anfaal:
 

"Ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: 'Ya Tuhan, jika benar (Al-Quran) ini haq dari sisi-Mu, maka hujanilah kami bebatuan dari langit atau datangkanlah kami azab yang sangat pedih. Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka selagi kamu (Muhammad) ada di tengah-tengah mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun (beristighfar)."
 
Dari sinilah ulama berpendapat bahwa istighfar (minta ampun kepada Allah) bisa untuk menolak balaa. Tapi orang yang  ber-istighfar itu kan yang merasa berdosa.
 
Wallaahu A'lam.


0 comments:

Posting Komentar

.comment-content a {display: none;}