Home » » BAIAT ORGANISASI DAN SYAHADAT DIWAKTU KECIL

BAIAT ORGANISASI DAN SYAHADAT DIWAKTU KECIL

Posted by Lentera Hati Manusia adalah Qolbu on Jumat, 22 April 2011

Fiqih Keseharian(4)
Oleh KH. A. Mustofa Bisri
 
Tanya:
Kami ingin komentar dan pendapat Bapak berdasarkan Islam sehubungan dengan hal-hal yang sering kami saksikan, sebagai berikut:
  1. Ada teman di perkumpulan bela diri yang berlatar belakang Islam, jika kenaikan tingkat disyaratkan dia harus mau di "baiat"
  2. Teman lain pada suatu kegiatan pengjaian yang diselenggarakan oleh sesuatu golongan, juga harus diharuskan dibaiat terlebih dahulu.
  3. Golongan ini mempunyai amaliah sendiri yang berbeda dengan umumnya orang-orang Islam, misalnya yang wanita berpakaian jilbab dan yang tampak hanya kedua matanya, perkawinan hanya boleh antargolongan sendiri, dan sebagainya.
  4. Ada lagi teman yang tidak mau berjamaah kecuali jika ia menjadi imam, atau imamnya orang yang segolongan. Sehubungan dengan itu pula timbul pertanyaa:
    • Bagaimana dengan masyarakat kita yang tidak mengenal "baiat" dan ber-Islam secara keturunan, bersyahadat waktu kecil di depan ustadz di musholla?
    • Bagaimana dengan orang yang bershyahadat dengan hanya dengan membaca buku dan syahadatnya itu tanpa disaksikan orang lain, padahal mereka konsisten dengan rukun Islam dan iman?
Itulah hal-hal yang kami mintakan pendapat dan jawaban Bapal. Atas jawabannya kami ucapkan terima kasih
 
Imam Sunardi
Pegundan Petarukan, Pemalang
 
Jawab:
Sudara Imam, Baiat, Bai'at, Bai'ah atau mubaaya'ah (kata kerjanya baaya'a - yubaayi'u) mempunyai arti perjanjian atau baiat. Makna aslinya kira-kira: tukar-menukar sesuatu dengan yang dianggap sebanding. Jual-beli, disamping bai', disebut juga mubaaya'ah (jual-beli kan tukar-menukar barang dengan uang yang seharganya). Perjanjian atau baiat sebenarnya juga mengandung pengertian "tukar-menukar" ini.
 
Di dalam Al-Quran sendiri, "mubaaya'ah" digunakan dengan arti perjanjian/baiat. Firman Allah:
 
"Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah." (QS 48. Al-Fath: 10)
 
"Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon..." (QS 48. Al-Fath: 18)
 
"Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah.." (QS 60. Al-Mumtahanah: 12)
 
dan digunakan dengan arti jual beli. Firman Allah:
 
"Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli" (QS 2. Al-Baqarah: 282)
 
"Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu" (QS 9. At-Taubah: 111)
 
Ayat 10 dan 18 surah Al-Fath itu berbicara tentang baiat (perjanjian setia) para sahabat (konon sekitar 1.400 orang) kepada Nabi Saw. di bawah pohon, di Hudaibiyah. Waktu itu (tahun ke-6 Hijriyah), Nabi dan kaum muslimin sedang menunggu-nunggu kedatangan shahabt Utsman bin Affan yang dikirim lebih dahulu ke Mekkah untuk memberitahukan maksud kedatangan mereka, ketika terdengar berita bahwa shahabat Utsman ditahan oleh kaum musyrikin; bahkan kemudian tersiar kabar beliau telah dibunuh. Karena itu, Nabi mengajak kaum muslimin melakukan baiat, janji setia untuk bersama Rasulullah, memerangi kaum musyrikin hingga mencapai kemenangan yang dijanjikan. Baiat yang dilakukan di bawah pohon ini, seperti termaktub ayat 18 surah Al--fath, telah diridlai oleh Allah. Dan kerenanya kemudian terkenal dengan nama Bai'at Ar-Ridhwan.
 
Sedangkan ayat 12 surah Al-Mumtahanah berisi perintah Allah kepada Rasulullah Saw. untuk membaiat dan memohonkan ampunan para wanita mukmin yang berjanji setia tidak akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, dan seterusnya.
 
Di samping itu, di awal-awal masa Islam, sejarah mencatat beberapa kali pembaiatan kepada Nabi oleh kelompok penduduk Madinah yang berjanji setia membela agama Islam dan Rasul-Nya.
 
Nah, kalau kemudia ada kelompok atau organisasi yang "mensyariatkan" baiat (janji setia) untuk para anggotanya terhadap pimpinannya, itu adalah hak mereka.
 
Bahkan adalah juga hak mereka untuk mengatur segala aturan bagi kelompok/organisasi mereka sendiri, asalkan tentu saja hal itutidak bertentangan dengan aturan perundangan yang berlaku di negara kita dan tidak mengganggu kelompok lain yang keberadaannya juga dijamin oleh undang-undang.
 
Sepanjang hal itu menyangkut ajaran agama, kelompok beragama yang "berbaiat" tentu mempunyai dasar dan diyakininya, demikian pula mereka yang tidak menggunakan aturan pembaiatan tentunya juga demikian.
 
Dalam keadaan demikian, saling mengaku benar sendiri atau paling benar, apakah ada gunanya? Dialog mungkin ada manfaatnya. Namun yang paling penting sebelum itu dan sesudahnya, adalah sikap saling menghargai.
 
Selebihnya, menurut saya, adalah soal etika pergaulan beragam dan berbangsa. Sampai di mana pemahaman dan wawasan masing-masing terhadapnya.
 
Adapun pertanyaan Anda mengenai syahadat pada garis besarnya syahadat itu 'kan pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah. Jadi kalau hanya membaca:
 
tanpa mengerti artinya 'kan ya bukan pengakuan namanya.
 
Bagi mereka yang "membaca syahadat" ketika masih kecil dan belum dong, dan sampai dewasa tetap ngugemi (berpegang pada) ajaran Islam, masa iya tidak pernah mengulangi syahadatnya dalam pengertian pengakuan tadi?
 
Saya kira jawaban ini sudah mencakup pula jawaban untuk pertanyaan Anda tentang syahadat berikutnya.
Wallahu A'lam.


1 comments:

  1. Jadi intinya yang islam turunan harus baca syahadat lagi ya? Perlu ada yang menjadi saksi tidak tadz?

    BalasHapus

.comment-content a {display: none;}