Home » » Wudlu Setelah Mandi Wajib dan Doa dikerjakan di WC

Wudlu Setelah Mandi Wajib dan Doa dikerjakan di WC

Posted by Lentera Hati Manusia adalah Qolbu on Senin, 04 Juli 2011

Fikih Keseharian seri ke-38
Oleh KH. A. Mustofa Bisri
Tanya:
Langsung saja Pak Kiai, saya mohon keterangan hal-hal sebagai berikut:

  1. Apa doa ketika bercebok, sedang keterangan yang lain menyatakan, kita tidak boleh berdzikir di dalam jamban (WC). maka dimanakah (kapan) doa itu harus diucapkan?
  2. Bila sudah mandi wajib, masih haruskah berwudlu?
  3. Apakah yang haram itu mesti najis dan sebaliknya?
Hal ini saya lanjutkan dengan pertanyaan: Bagaimana hukumnya kita memakai wewangian (parfum) yang bukan bibit (sedang di sana terkandung barang yang haram).

Sekian dulu, atas jawabannya saya ucapkan Jazaakumullaah Ahsanal Jazaa.

Anwar Kumaidi

Jawab:
  1. Saya tidak tahu ada doa ketika cebok. Mungkin yang Anda maksud adalah doa ketika masuk jamban. Yaitu:

    ALLAHUMA INNI A'USZUBIKA MINALHUBUTSI WAL KHABAITS
    dan ini dibaca ketika "akan" --jadi sebelum-- masuk jamban.

    Atau doa setelah "buang hajat", yang berbunyi:

    ALHAMDULILLAHILADZI ADZHABA 'ANNILADZA WA'AFANI
    yang dibaca ketika "sudah berada di luar" jamban. Dengan demikian, memang tidak ada dzikir di jamban. Bahkan karena di cincin Rasulullah Saw. terukir kalimat dzikir, beliau selalu mencopotnya (melepas) pada saat akan buang air.

    Dari sebuah hadis diriwayatkan:

    "Rasulullah Saw. apabila hendak masuk ke dalam jamban menanggalkan cincinnya" (HR Abu Daud, an-Nasai, at-Turmudzi, dan Ibnu Majah dari Anas bin Malik r.a.)
  2. Mandi wajib atau junub itu, seperti Anda ketahui, adalah bersuci untuk menghilangkan hadas besar. Sedang wudlu adalah untuk menghilangkan hadas kecil. Jadi jika kita sudah menghilangkan hadas besar dari diri kita dengan mandi wajib, maka hadas kecil pun katut (ikut) terhilangkan. Apalagi, tentu saja, kalau kita mandi secara sempurna seperti Rasulullah Saw. mandi. Seperti kita ketahui, mandi wajib yang sempurna didahului antara lain dengan wudlu (Bacalah sifat mandi Rasulullah Saw. dalam kitab-kitab hadis).
  3. Secara sederhana, haram itu adalah apa yang dilarang agama, kebalikannya halal. Sedangkan najis adalah apa yang dianggap kotor oleh agama dan menghalangi melakukan shalat, jika tidak ada hal khusus yang memperkenankannya, kebalikannya suci.

    Jadi tidak selalu yang haram (dilarang agama) itu najis. Telur rebus atau goreng mata sapi, misalnya, bisa haram (dimakan) meskipun tidak najis; baju atau minyak wangi bisa haram (dipakai) kendati suci. (Ini lantaran hal-hal yang dicontohkan itu diperoleh secara tidak halal, misalnya). Sedangkan apa yang najis (yang dianggap 'kotor' oleh agama), selama tidak ada hal khusus yang memperkenankan, dilarang agama atau haram (dimakan atau dipakai). Bangkai misalnya, adalah najis dan haram dimakan, kecuali dalam keadaan darurat (misalnya orang yang kelaparan dan tak menemukan makanan lain kecuali bangkai). Khamar (minuman keras) itu najis dan haram (diminum atau dipakai mandi, misalnya). Tapi kalau dimanfaatkan untuk memadamkan api misalnya, tidak haram menurut Imam Syafi'i.
    Dengan kata lain, haram atau tidaknya sesuatu yang najis itu tergantung pemanfaatannya untuk apa dan dalam kondisi bagaimana.
    Nah dari keterangan dan contoh-contoh di atas, tampaklah bahwa apa yang Anda tanyakan (haram dan najis) itu adalah soal istilah-istilah yang sebenarnya mempunyai pemakaiannya sendiri-sendiri.
  4. Adapun pertanyaan Anda mengenai parfum yang ada barang haramnya, tentu harus dilihat dulu "barang haram" apa itu yang ada di wewangian tersebut dan seberapa besar kadarnya. Jika yang Anda maksudkan dengan "barang haram" itu adalah sesuatu yang najis, berarti wewangian yang Anda tanyakan adalah sesuatu yang --menurut istilah fikih-- disebut mutanajis, maka pemanfaatannya haram atau tidak juga tergantung untuk apa.

    Kalau untuk wewangian pakaian, sesuai dengan fungsinya, hukumnya haram. (Jika ingin perincian pemanfaatan barang yang bercampur najis dan pendapat ulama mengenai hukum masing-masing saya persilahkan Anda membaca kitab "Fikih Perbandingan" seperti Bidayah al-Mujtahid dan al-Fiqhuu 'alaa al-Madzaahib al-Arba'ah di bab-bab at-Thaharah dan an-Najasah).

Demikian jawaban saya, Wallaahu A'lam bishshawab


0 comments:

Posting Komentar

.comment-content a {display: none;}